Mamahami Sejarah Pengelolaan Zakat Di Masa Awal Islam

Zakat merupakan instrumen keuangan sosial Islam yang memiliki kedudukan strategis dalam membangun kesejahteraan umat. Dalam konteks Indonesia, potensi zakat nasional mencapai ratusan triliun rupiah per tahun namun realisasi penghimpunan masih jauh dari angka ideal. Salah satu akar persoalan adalah rendahnya pemahaman fikih zakat di masyarakat dan bahkan di sebagian pengelola zakat. Padahal fikih zakat merupakan fondasi syariah yang menjadi pedoman utama dalam implementasi zakat sejak masa Rasulullah SAW hingga era kekhalifahan. Memahami sejarah pengelolaan zakat di masa awal Islam sangat penting sebagai inspirasi serta landasan untuk memperkuat pengelolaan zakat nasional.

Zakat pada Masa Rasulullah SAW: Model Pengelolaan Terpusat dan Tepat Sasaran
Pada masa Rasulullah SAW, zakat merupakan instrumen resmi negara yang dikelola secara terstruktur. Rasulullah tidak hanya memberikan perintah untuk berzakat, tetapi juga membangun sistem pengumpulan dan pendistribusian zakat yang efektif. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Kata “khudz” (ambillah) menunjukkan adanya otoritas yang ditunjuk untuk mengelola zakat secara institusional, bukan diserahkan sepenuhnya kepada individu. Rasulullah SAW menugaskan para amil resmi—seperti Mu’adz bin Jabal yang dikirim ke Yaman—untuk menarik zakat, mencatat, dan menyalurkannya kepada delapan asnaf sebagaimana tercantum dalam QS. At-Taubah: 60.
Sistem pada masa Rasulullah memiliki tiga karakter utama:
1. Amanah dan profesionalitas amil
Para amil dipilih dari orang-orang yang terpercaya, memahami fikih zakat, dan mampu mengelola administrasi. Mereka digaji dari bagian amilin sebagai bentuk profesionalisasi.
2. Distribusi lokal yang proporsional
Rasulullah menegaskan kepada Mu’adz bin Jabal:
“Ambillah zakat dari orang kaya di antara mereka, kemudian kembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (HR. Bukhari)
3. Pencatatan dan pendataan mustahik
Rasulullah memastikan bahwa setiap wilayah memiliki data yang jelas tentang orang kaya dan mustahiknya.
Sejarah ini menunjukkan bahwa sejak awal, pengelolaan zakat membutuhkan pemahaman fikih yang kuat, sistem yang teratur, dan integritas amil.

Zakat Pada Masa Abu Bakar ash-Shiddiq: Ketegasan Syariat sebagai Prioritas Negara
Selepas wafatnya Rasulullah SAW, sebagian kaum enggan membayar zakat meski tetap salat. Khalifah Abu Bakar mengambil sikap tegas untuk memerangi golongan tersebut. Beliau berkata:
“Demi Allah, aku akan memerangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat.”
Ketegasan ini menunjukkan bahwa zakat bukan sekadar praktik sosial, tetapi kewajiban syariat yang memiliki sistem tata kelola negara. Abu Bakar juga menata kembali daftar muzakki dan mustahik serta mengembalikan fungsi amil sebagai institusi resmi.
Pelajaran penting yang dapat diambil:
1. Zakat harus dikelola oleh lembaga yang kuat dan dihormati masyarakat.
2. Kepatuhan syariah adalah kunci keberlangsungan sistem zakat.
Inilah prinsip dasar yang relevan bagi pengelolaan zakat nasional masa kini.

Zakat pada Masa Umar bin Khattab: Inovasi dan Ijtihad Fikih yang Progresif
Khalifah Umar bin Khattab sangat terkenal dengan inovasi dan kebijakan ijtihad yang cerdas. Umar memperkenalkan beberapa pembaruan dalam pengelolaan zakat, antara lain:
1. Pendataan mustahik secara sistematis
Beliau mendirikan diwan (lembaga administrasi) untuk mencatat profil mustahik dan muzakki.
2. Pemberdayaan mustahik
Umar tidak hanya memberikan zakat berupa uang tunai, tetapi modal usaha produktif. Ini menjadi dasar program zakat produktif modern.
3. Ijtihad dalam kasus harta baru
Umar mengembangkan fatwa terkait zakat perdagangan, zakat hasil bumi, dan harta-harta baru yang belum ada pada masa Rasulullah.
Periode Umar adalah bukti bahwa fikih zakat bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial-ekonomi.

Penguatan Fikih Zakat untuk Pengelolaan Zakat Nasional
Melihat sejarah tersebut, jelas bahwa keberhasilan pengelolaan zakat bergantung pada tiga unsur: pemahaman fikih yang benar, kelembagaan yang kuat, dan kemampuan beradaptasi dengan kondisi zaman. Namun, kondisi saat ini menunjukkan sejumlah tantangan:
A. Minimnya Literasi Fikih Zakat di Masyarakat
Banyak masyarakat belum memahami jenis harta yang wajib dizakati: zakat penghasilan, zakat perusahaan, zakat saham, hingga zakat pertanian modern. Ini membuat potensi zakat tidak termanfaatkan secara optimal.
B. Amil Zakat Belum Merata Penguasaan Fikihnya
Meski banyak lembaga zakat sudah profesional dalam manajemen modern, sebagian amil belum memahami fikih zakat secara mendalam. Hal ini dapat memunculkan kesalahan dalam perhitungan nisab, haul, atau pendistribusian yang tidak sesuai syariat.
C. Ikhtilaf Ulama yang Tidak Dipahami Masyarakat
Perbedaan pendapat dalam fikih zakat—zakat profesi, zakat aset produktif, hingga zakat digital—sering dianggap membingungkan. Padahal, ikhtilaf adalah kekayaan syariat yang seharusnya dipahami dan dike 

Adapun untuk memperkuat pemahaman fikih zakat secara nasional, beberapa langkah strategis dapat dilakukan di anataranya:
1. Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Fikih Zakat
Lembaga amil perlu memastikan seluruh amilnya memiliki sertifikasi syariah, pelatihan rutin, serta kemampuan membaca kitab fikih klasik dan kontemporer. Perguruan tinggi juga perlu memperkuat kurikulum fikih zakat dan manajemen zakat.
2. Literasi Publik Melalui Media Digital
Artikel opini, video edukasi, infografis, podcast, dan kelas daring tentang fikih zakat sangat penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.
3. Sinergi Ulama, Akademisi, dan Praktisi Zakat
Kolaborasi ini penting untuk menghasilkan fatwa yang aplikatif dan relevan dengan perkembangan zaman.
4. Penyusunan Standar Nasional Fikih Zakat
BAZNAS, MUI, dan lembaga amil dapat menyusun pedoman fikih praktis sebagai rujukan nasional sehingga tidak terjadi perbedaan praktik yang membingungkan publik.
5. Penguatan Peran Perguruan Tinggi
Mahasiswa Prodi Manajemen Zakat dan Wakaf seperti di UMJ memiliki peran strategis sebagai generasi yang kelak memimpin lembaga amil zakat. Pemahaman fikih yang baik sejak bangku kuliah akan memperbaiki tata kelola zakat di masa depan.

Kesimpulan
Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat selalu ditopang oleh pemahaman fikih zakat yang kuat, sistem yang tertata, dan inovasi yang sesuai kebutuhan masyarakat. Di Indonesia, penguatan fikih zakat merupakan kunci peningkatan pengelolaan zakat nasional agar lebih profesional, akuntabel, dan sesuai syariat. Dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, memanfaatkan teknologi modern, serta memperkuat literasi umat, zakat dapat menjadi pilar utama dalam mewujudkan kesejahteraan nasional.

Author:
Vikri Permana
25050570015
Mahasiswa Prodi Manajemen Zakat dan Wakaf, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta